Aitazaz Hasan Bangash (15 tahun) dan sepupunya,
Musadiq Ali Bangas, dengan ceria berangkat ke
Sekolah Ibrahimzai, mereka sama-sama duduk di kelas 9, setingkat kelas 3 SMP. Kedua saudara bersaudara tersebut, dengan ceria dan berangkat ke sekolah. Ketika tidak jauh dari sekolah mereka, seorang remaja yang berseragam sama dengan sekolah mereka, namun tak dikenal, menanyakan letak sekolah mereka.
Melihat gelagat remaja tak dikenal tersebut, Aitazaz dan Musadiq menjadi curiga. Setelah mereka memperhatikan lebih detail, ternyata remaja tak dikenal tersebut tidak membawa tas berisi buku, melainkan buntalan bom. Agaknya, remaja tak dikenal itu adalah seorang bomber bunuh diri yang akan beraksi, ia akan melakukan bom bunuh diri di Sekolah Ibrahimzai.
Mereka, Aitazaz dan Musadiq Ali Bangash, serta si remaja tak dikenal, semakin dekat dengan Sekolah Ibrahimzai, sementara ratusan siswa mulai memenuhi halaman sekolah, ada juga yang telah berkumpul di lapangan sekolah.
Si remaja tak dikenal menunjukkan tanda-tanda akan meledakkan bom, para siswa lainnya berlarian dan mencari perlindungan. Namun, Aitazaz tak melakukan hal tersebut, ia malah mendekati si bomber, melawan dan mencoba menangkapnya. Si bomber panik; dan dalam keadaan itu, ia meledakkan bom bawaannya.
Aitazaz Hasan Bangash tewas di tempat. Si remaja tak dikenal itu pun tewas karena ledakan bom yang ia bawa sendiri. Aitazaz Hasan Bangash tewas di depan gerbang sekolahnya, ketika dengan berani menghentikan seorang pembom bunuh diri yang mau menghancurkan sekolah dan membunuh ribuan siswa di dalamnya. Aitazaz Hasan Bangash tewas, namun menyelamatkan nyawa para siswa yang berkumpul di lapangan sekolah untuk apel pagi; ia menyelamatkan nyawa teman-temannya dari ancaman maut.
Semuanya di atas adalah berita yang lambat terpublish dari Pakistan; tepatnya kejadian tersebut terjadi di Distrik Hangu, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa; kisah nyata yang terjadi pada Senin pagi, 6 Januari 2014.
Kematian Aitazaz bukan saja membawa duka pada ayahnya, namun seluruh orang tua murid Sekolah Ibrahimzai, dan masyarakat Distrik Hagu (wilayah yang selalu ada konflik antara Syiah dan Sunni) di Pakistan tersebut. Mujahid Ali, ayah Aitazaz menyatakan, "My son made his mother cry, but saved hundreds of mothers from crying for their children,…" (Pakistan's Express Tribune newspaper).
Mareka, orang-orang Hagu, meminta agar Aitazaz diberi penghargaan karena keberaniannya. "Ia menyelamatkan ratusan nyawa. Ia berhak mendapat penghargaan lebih dari Malala Yousafzai. "Sungguh pengorbanan yang luar biasa. Aitazaz mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan ratusan siswa atau riabuan (Syiah dan Sunni) yang siapkan diri unyuk apel pagi," ungkap lirih penuh duka dari Musadiq, yang juga sepupu Aitazaz.
Dalam kenangan terhadap Aitzaz, guru-guru dan temannya, berkata bahwa Aitazaz adalah siswa remaja yang berani, murid yang baik, dan sering bekata "Saya selalu siap untuk negara saya." para guru di Sekolah Ibrahimzai, menyatakan bahwa Aitazaz adalah adalah shahid (martir). Sebuah shahid dari seluruh bangsa Pakistan. Selamat Jalan Aitazaz Hasan Bangash.
Pengguna Twitter meminta semua orang menggunakan hashtag #onemillionaitzazs #aitzaz. Menyerukan agar keberanian remaja ini diakui, serta mengenang Aitazaz Hasan Bangash sebagai pahlawan kemanusiaan untuk teman-teman sebayanya, warga Syiah dan Sunni yang tak berdosa; Aitazaz Hasan Bangash, ia tewas, namun menyelamatkan yang lain.
(sosok.kompasiana.com)
No comments:
Post a Comment