Ibu Kota DKI Jakarta kerap menjadi
langganan banjir setiap tahunnya. Dengan kondisi ini,
apakah DKI Jakarta masih layak menjadi ibukota negara Republik Indonesia? Jakarta seolah menjadi tempat parkir air dari seluruh wilayah di Jabodetabek.
Penyebab banjir di Jakarta ini adalah karena jarang adanya setu di wilayah kota penyangga seperti, Bogor dan Depok.
"Di Bogor dan Depok sudah tidak ada tampungan (setu), karena setu di Depok dan Bogor itu sudah mendangkal," ujar pengamat tata kota,
Rudy Parluhutan Tambunan seperti dilansir Okezone, Selasa (14/1/2014).
Menurutnya, keberadaan setu sangatlah penting sebagai wadah penampungan air di saat hujan turun dengan intensitas lebat. "Bagaimana caranya air itu ditahan. Artinya dimasukkan ke setu. Itulah sebabnya pada zaman Belanda, di Depok dan Bogor hampir ada 200-an setu buatan, itu memang untuk menahan air dan untuk menahan laju air pada musim hujan," terang Rudy.
Namun, kata dia, saat ini sudah tidak ada lagi setu-setu yang mampu menampung debit air. "Sudah dangkal. Bahkan berubah menjadi hunian," pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, sebanyak 276 RT, 75 RW di 31 kelurahan di 18 kecamatan di Ibu Kota terendam banjir hingga setinggi empat meter. Akibatnya, 5.152 jiwa mengungsi dan tersebar di 35 titik pengungsian.
Berdasarkan data yang dihimpun BPBD DKI Jakarta hingga Senin (13/1/2014) pukul 07.00 WIB, banjir merendam 7.367 rumah yang dihuni 24.269 jiwa. Banjir paling parah terjadi di kelurahan Cawang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, yakni air setinggi empat meter menggenangi lima RW.
Sementara itu, jalan-jalan utama di Ibukota mengalami gangguan lantaran genangan air hampir tidak bisa dilintasi oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.
(put/okezone.com)
No comments:
Post a Comment